lakoro

Posts Tagged ‘packaging’

KANCUT

In Archeopack, Collection on Maret 22, 2014 at 2:08 pm

Perempuan itu keluar masuk toko sepanjang lorong, blok yang hanya menjual pakaian dalam saja. Bukan yang glamor macam Victoria Secret atau Triumph, itu hanya toko yang menjualnya lusinan atau kodian. Suami dan anaknya nampak tak terlalu tertarik mengikuti aktifitas itu sehingga memilih mencari tempat duduk. Pusat grosir ini memang hiruk pikuk di hari Minggu. Setelah melihat kualitas dan harga yang dianggapnya layak, diputuskanlah membeli beberapa potong, untuknya sendiri dan anak perempuannya. Si suami tetap tidak tertarik meskipun mungkin sudah merasa perlu memiliki pakaian dalam baru. Semua celana dalam bisa dianggap sama, semakin mahal berarti bermerek dan kualitas bahan yang lebih baik. Simple.

Di hari lain, tempat yang berbeda. Kali ini mall yang cukup besar dan dikenal dengan harganya mahal bagi orang kebanyakan. Departemen store yang menjadi anchor tenant di mall itu menggelar sale beberapa produk pakaian dalam mulai dari singlet, tank top, long john, men’s brief, stocking dan sebangsanya. Perempuan yang sama. Anak perempuan dan pria yang sama. Harga mendadak terjangkau karena diskon yang cukup besar untuk bulan-bulan yang tidak ada even khusus di dalamnya. Tapi keputusan membeli kali ini berbeda, salah satu merek menawarkan desain kemasan yang berbeda. Keputusan saat itu menjadi suatu impulse buying. Celana dalam tak lagi jadi urusan simpel, ada hasrat lain di sana. Kemasan yang memberi kesenangan baru. Segar.

Keluar dari keramaian. Peluang dan resiko datang bersama

Keluar dari keramaian. Peluang dan resiko datang bersama

Kemasannya cukup ‘nge-hip’ dengan memainkan warna-warna retro, layout akrobatik dengan banyak ragam typeface dalam satu palet dan 1-2 penggal ornamen victorian membantu menyatakan diri sebagai artikel produk classic. Strategi cerdik yang tentu akan segera membuat kemasan membedakan diri dengan kemasan ratusan merek produk di kategori serupa. Kalau kalian sudah tidak pakai pampers, tentu masih ingat bagaimana rupa kemasan celana dalam yang terakhir kalian beli… hahahaha… Yang sering dijumpai pada kemasan celana dalam pria adalah desain yang klise: fotografi torso a la Dewa Apollo tanpa cela (meski tetap bercelana) dengan rectus abdominis berjajar enam serupa dipahat. Variasinya, si figur torso di-setting dengan monokrom atau saturasi lebih rendah, sedang si kancut dibuat lebih vivid. Semacam ajakan melarikan diri dari realita meskipun imaji tentang tubuh seperti itu tak akan pernah dicapai oleh kemalasan manusia modern. Apalagi cuma dengan membeli kancut sekotak isi tiga, tentu sulit berharap tubuh seketika layak jadi model celana dalam.

[ warning: explicit content ]

Stereotip desain kemasan celana dalam (pria)

Stereotip desain kemasan celana dalam (pria).
Gambar dari Google images

Malam itu, si suami pulang cengar-cengir. Ada suku cadang baru yang kemasannya hampir pasti dikoleksi. Isinya adalah pakaian dalam yang selalu membuat seseorang jadi manusia baru ketika memakainya saat segar. Perempuan dan anak perempuannya mungkin cengar-cengir untuk hal lain. Ok, perempuan itu istriku.

-ramok-

RITUAL

In Archeopack, Packopedia on Maret 4, 2014 at 4:44 pm

Tergesa-gesa saya pada suatu malam, memburu sebelum kios mulai tutup. Malam yang mana saya ingin menikmati hasil akhir kompetisi itu. Yang diburu bukan hal penting: kacang kulit, tapi terasa penting bagi saya malam itu. Memang tak ada yang penting di dunia ini sampai kita menganggapnya penting… hahahaha.. Saya yakin tak setiap orang menyalurkan kegemasan pada serunya pertarungan bola yang bertubi-tubi mengancam gawang tim yang dibela dengan cara seperti saya: makan kacang. Tapi saya yakin bahwa saya tak sendiri. (#YNWA). Di belahan kota yang lain mungkin ada yang lebih siap dengan membeli kacang jauh sebelum kick-off. Dan ketergopohan itu, saya tersenyum dalam hati karena merasa mendapat gayung bersambut. Lihat apa yang saya temukan malam itu. Sebuah sugesti untuk menjadikan kebiasaan tadi sebuah ritual. Hal yang dipelajari produsen dengan cermat dari para pembelinya.

P1170769

Sugesti tentang cara menikmati produk

Di tataran yang paling rendah, ritual mengonsumsi ini hanya menciptakan kebiasaan. Sebuah model periklanan yang sudah jadi klasik Foote Cone Belding Model biasa menempatkan produk untuk pembentuk kebiasaan pada kuadran 3. Kuadran ini biasanya melibatkan pertimbangan rasional dan rendahnya keterlibatan konsumen dengan produk (rational – low involvement). Tetapi seiring berkembangnya pola konsumsi dan motif-motif di dalamnya, hampir setiap kuadran dapat membangun ritualnya sendiri.  Produk di kuadran 1 (rational – high involvement) semacam furniture, mobil atau rumah tak lagi melulu menggunakan imbauan rasional. Sebagai gantinya akan ada imbauan semacam ini: kalau sudah duduk lupa berdiri. Tak heran jika strategi ini bisa memanggil perasaan butuh akan produk pada momen-momen yang ritualistik. Ketika cuaca hujan maka banyak orang akan mulai mengingat ritual minum kopi yang diperlihatkan di iklan-iklan. Mendadak terbitlah selera kita serupa jurus yang dipakai Pavlov untuk membuat seekor anjing menetes liurnya hanya dengan bunyi bel.

Siapa tahan godaannya di hari sedang hujan?

Siapa tahan godaannya di hari sedang hujan?

Ritual-ritual yang disugestikan produsen pada pemakai produknya dapat terjadi di berbagai level intelektual dan usia. Siapa bisa lupa cara menikmati biskuit bersalut gula putih. Ada tiga tahap yang harus dilalui seorang anak untuk dapat mencapai kenikmatan paripurna, diputar, dijilat, dicelupin. Bahkan ketika urutan itu dibalik, rasa bisa menjadi berbeda di lidah mereka dan meminta ibunya mengambilkan yang baru. Tom F. Driver (1996) melakukan penelitian di konteks, tempat dan waktu yang berbeda tentang ritual, tetapi apa yang disodorkannya menarik untuk dilihat dalam kacamata pola konsumsi masyarakat kita, bahwa ritual memberikan tiga hadiah pada masyarakat pelakunya: tatanan, pengalaman komunitas dan transformasi individu. Sejak itu, saya tidak lagi memandang remeh tentang cara seseorang mengonsumsi sesuatu.

-ramok-

BUNGKUS

In Packopedia on Februari 28, 2014 at 10:33 am

Beberapa orang yang saya amati amat mudah membuang kemasan makanan, minuman atau produk lain setelah dikonsumsi. Menurut saya ini menarik, karena yang dibuang itu kadang adalah hal yang pertama kali menarik hatinya untuk membeli. Entah karena kemasan itu menjanjikan kualitas produk yang ekselen, kebersihan dan rasa aman ketika mengonsumsi atau persuasi yang dilantunkan di seluruh permukaan kemasan lewat kata-kata membuai. Desainer yang merancang kemasan itu butuh beberapa waktu untuk dapat mengemas seonggok produk makanan daging bersalut tepung, misalnya – menjadi sajian yang utuh untuk menarik perhatian. Sajian utuh yang saya maksud adalah terpenuhi aspek-aspek fungsional produk (misalnya: rasa enak pada makanan) dengan aspek-aspek emosional (misalnya: rasa aman mengonsumsi karena nampak higienis ).

Kemasan daging ayam, dirancang oleh Sid Lee

Kemasan daging ayam, dirancang oleh Sid Lee

 

Kemasan daging sapi, dirancang oleh Sid Lee

Kemasan daging sapi, dirancang oleh Sid Lee

Kemasan ikan trout, dirancang oleh Sid Lee

Kemasan ikan trout, dirancang oleh Sid Lee

Sebuah perusahaan yang menjual makanan organik Blue Goose nampaknya paham betul hal ini. Lewat tangan ilustrator Ben Kwok dan biro desain Sid Lee mereka membangun kesan yang mendalam tentang produk daging organiknya. Kontras sekali kalau harus membandingkan dengan daging di pasar tradisional kita. Bukan melecehkan, karena keluarga sayapun mengonsumsi daging yang kami beli di pasar tradisonal atau mlijo (penjual sayur keliling dengan bonus gossip di areanya beredar). Bahkan daging di supermarketpun tak mengemas sebaik ini.

Kemasan sosis, dirancang oleh Sid Lee

Kemasan sosis, dirancang oleh Sid Lee

ilustrasi yang terasa 'organik' perbuatan Ben Kwok
ilustrasi yang terasa ‘organik’ perbuatan Ben Kwok

Hampir bisa dipastikan, kita mengonsumsi produk daging itu banyak berhubungan dengan pertimbangan pragmatis dan fungsional, sementara rasa aman diperoleh melalui observasi langsung terhadap permukaan daging (segar/ berlendir/ empuk/ dst). Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah menjalankan fungsi desain yang sesungguhnya, membantu produk memunculkan kualitasnya lewat cara si produsen mengemas produk. Meskipun mereka tau akan dibuang, mereka juga tau cara terbaik memanfaatkan bungkus.

-ramok-

BUKAN ASPAL, HANYA ALTERNATIF

In Collection on Februari 26, 2014 at 3:48 pm

Selain rokok aspal, ada beberapa kemasan rokok yang saya simpan di kardus (oke, kalo begitu baca dulu ini ) yang tak terlalu mudah dikategorikan ‘mengadaptasi’ merek rokok yang mana. Kebanyakan dikemas dalam kemasan soft pack dan diproduksi di industri rokok rumahan. Ketika mulai membeli dan mengumpulkan, banyak warung yang tidak terlalu percaya saya akan benar-benar mengonsumsi rokok itu sehingga menanyakan kembali apakah saya yakin akan membelinya. Kadang saya tidak menduga wajah ini bisa kelihatan seperti ningrat. Hahahahaha…

ada apa dengan warna hijau dan kuning? hoki?

ada apa dengan warna hijau dan kuning? hoki?

C

Bila dirancang lebih baik, bisa menjadi ancaman serius rokok ‘arusutama’.

Selain mengandalkan gaya grafis yang cenderung tradisional dengan permainan angka, simbol-simbol yang diangkat dari wayang, bunga atau crest/ lambang klan tertentu, ada pula dari kelompok rokok alternatif ini yang mencoba langgam-langgam visual yang lebih modern, pilihan warna dan fotografi  yang memperlihatkan pilihan teknologi cetak kemasan yang lebih baik. Sebuah merek yang menarik saya bahkan menampilkan seorang atlet sepakbola, legenda hidup tim nasional Indonesia. Atlet? Mengendorse rokok? Well, silakan menilai sendiri. Sejujurnya, saya bahkan tidak yakin si atlet tau wajahnya ada di situ.

AA

Pesawat ruang angkasa bisa juga dijumpai di kemasan rokok alternatif

AAA

Beberapa teknik finishing diterapkan memberi penampilan berbeda. Harganya mulai mendekati merek-merek terkenal

B

Ada yang pernah coba?

BB

Yang desainnya meriah itu bisa dikira kemasan permen

Lebih jauh lagi, seandainya industri rokok rumahan ingin terus hidup dari market share (kecil) yang sudah dimilikinya selama ini, mungkin mereka perlu mulai memikirkan aspek desain, mulai dari merencanakan merek yang lebih kuat untuk menjalin ikatan emosional dengan konsumennya, merencanakan desain yang lebih memperlihatkan value produk/bisnisnya, atau bermain di harga yang terpaut jauh di bawah rokok sejenis yang di produksi industri ‘arus utama’. Bisnis ini banyak bermain di ranah kenikmatan emosional yang dipandang oleh pembeli/ konsumen/ perokok sebagai benefit. Beberapa merek di sini menempuh resiko dengan mengambil desain yang sangat mirip dengan merek lain yang lebih kuat. Sebuah resiko.

-ramok-

SANDERA

In Archeopack on Februari 25, 2014 at 2:33 pm

“Packaging has to grab the consumers’ attention, relate to their own identities and create an emotional connection –in a matter of seconds,”
‐ Jason Kempen, Fountainhead Design ‐

Baiklah, ini akan terasa absurd awalnya. Pagi hari saya beberapa waktu lalu pecah oleh teriakan anak perempuan kami, seekor ular kecil masuk ke kamarnya. Semua barang yang ada di bawah tempat tidurnya kami keluarkan tapi si ular kecil, entah lolos keluar atau sembunyi, tak berhasil ditemukan. Pagi itu dilalui dengan pengepungan yang tak membawa hasil. Di antara kardus-kardus itu, ada salah satu lipatannya terbuka, tersimpan koleksi kemasan rokok yang terkumpul beberapa tahun belakangan. Tak banyak, tapi ini sebuah kegembiraan kecil meskipun tak semua orang di rumah kami sepakat soal itu. Mungkin melihat saya sebagai kolektor barang tak berguna, sementara saya dengan gagahnya memandang diri sebagai pengoleksi jejak peradaban. Oke, itu masalah sudut pandang saja,… hahahahaha…

Image

Karena si ular kecil tak jadi ditemukan, kesibukan dialihkan untuk membongkar-bongkar isi kardus. Ada beberapa koleksi yang, entah bagaimana, membuat termangu. Kemasan rokok edisi khusus yang pernah dikoleksi memanggil untuk disentuh, diraba beberapa bagian emboss pada logonya, dilihat detil gambarnya satu persatu.

Image

Rokok A Mild dari berbagai edisi dan tema. Tema musik paling dominan terlihat. Tema ini sejalan dengan strategi yang diterapkan untuk mendekati kelompok usia yang mereka sasar atau setidaknya disugesti menjadi seperti itu. Anak muda, straight forward, dinamis, kreatif, opinion leader (others can only follow, kata iklannya beberapa tahun lalu). Tentu tak ada musik blues atau klasik di sana. Nuansa musik rock, gitar listrik, youth gone wild, neon glow, kebebasan dan pemain gitar berambut panjang menghiasi permukaan kemasan. Tema lain muncul sebagai mural dan seni vektor yang dinamis tentang dunia anak muda. Begitulah kemasan ini merayap dan mendekati sisi yang tak rasional dari para pembelinya. Pembeli hampir pasti tak tahu perayaan apa yang diwarnai oleh terbitnya kemasan edisi khusus ini, tapi sajian visual yang ditampilkan bisa saja menyandera hasrat membeli pembeli-pembeli lama dan memancing kegairahan pembeli baru.

Image

Image

Menarik, untuk sesuatu yang hanya akan dibuang oleh pembelinya, kemasan edisi khusus ini dapat difungsikan sebagai jangkar masuknya sugesti-sugesti baru tentang kekuatan merek, kedekatan emosional produk dan pembelinya. Beberapa koleksi yang lain bahkan memperlihatkan kemasan yang diintegrasikan dengan pesan-pesan dalam iklan televisi. Sebuah konspirasi yang terjalin apik dan ditentukan oleh hitungan detik, ketika konsumen melihat produk itu didisplay. Tak terlalu berlebihan bila Trevor Wade berujar orang-orang  (konsumen) selalu siap dikejutkan dan dibuat terkesan, bukan oleh kegenitan produk, melainkan cerita dan hubungan yang personal dengan merek.

– ramok –