lakoro

Posts Tagged ‘brand evangelist’

LOYAL

In Brandstory on Maret 13, 2014 at 5:02 am

Bayangkan suatu masa peralihan 80-an ke 90-an. Malam itu ada kabar seorang teman dianiaya. Kami, remaja tanggung bercelana pendekpun memilih pulang ke rumah masing-masing. Besok masih harus sekolah pagi. Hahahaha. Musabab sementara terungkap: dia mengatai sekelompok pemuda gondrong yang asyik nongkrong. Sebenarnya, bukan para pemuda itu yang diolok-olok, tapi tempat dimana kelompok itu membangun perasaan satu jiwa. Sudut tersebut, oleh anak-anak di lingkungan kami di masa itu dijuluki sudutnya Arek Sepultura, sedang di sudut lain ada yang disebut daerah Arek Megadeth, Arek Manowar dan beberapa lainnya. Tidak ada area Metallica di sana, aneh juga. Dandanan mereka khas, t-shirt hitam dengan gambar menyalak dari cover-cover kaset band metal. Celana jins skinny yang memperlihatkan betapa kaki-kaki mereka tak sekekar rambutnya. Sesekali limbah botol miras terlihat di sana. Mereka melalui malam dengan lagu-lagu mulai metal sampai folk country sambil memainkan gitarnya yang penuh dengan stiker band-band pujaannya.

Power Metal, sumber dari sini

Power Metal, sumber gambar dari sini

Belakangan, melihat bagaimana sikap fans ketika sebuah konser di Kutai Kartanegara digelar dan berakhir dalam dua ending yang berbeda, pahit dan tak nyaman bagi Testament, penampil dari negeri orang. Lainnya, berakhir manis dan penuh kesan mendalam dan nostaljik bagi Power Metal, salah satu dedengkot metal Indonesia. Sikap fans saya anggap mengalami kemajuan pesat, kekisruhan di panggung tak usah direspon berlebihan di arena penonton. Bila kurang simpati, cukup duduk manis dan menunggu penampilan band yang dianggap kurang bersikap baik itu berlalu. Itu sebuah bentuk loyalitas yang bernilai sangat positif bagi sebuah nama semacam Power Metal. I love them.

Kedua kutipan peristiwa itu membantu saya mendeskripsikan bagaimana bila apresiator musik itu dapat bersikap layaknya seorang konsumen yang sangat loyal. Dalam beberapa tulisan, ada istilah brand evangelist, dimana si konsumen menyampaikan seluruh kehebatan suatu merek kepada orang-orang di sekitarnya tanpa disuruh. Dalam kasus di atas, ‘produk’ seni berupa musik itu tidak dikonsumsi secara terpisah dari merchandise dan elemen penguat ‘merek’ musiknya. Pada tataran ini, semuanya akan bicara pada bagaimana sebuah ‘produk seni’ dikemas dan di-deliver pada para pecintanya. Bahkan mempengaruhi gaya hidup dan sikap pribadi secara lebih mendalam. Yang semacam ini bisa dilihat dari fans sepakbola, yang kemudian memunculkan gaya hidup nonton bareng, die hard fans dan seterusnya. Melihat bentuk loyalitas yang berkembang, banyak orang yang rela berperang di media sosial untuk membela merek komputer yang dipakainya, dan tentu yang seperti ini tak banyak, tapi militan. Padahal karyawan pabriknya bukan, staf pemasarannya juga bukan. Tapi begitulah, saat produk sudah menyentuh titik-titik emosional dari kebutuhan penggunanya, produk itu tak bisa lagi dilihat sebagai entitas benda tetapi akan bertransformasi menjadi entitas merek yang lebih organis. Tak heran, bagi seorang opinion leader, muncul pilihan baru sebagai profesi yaitu menjadi buzzer sebuah produk yang dia bersedia menjadi endorsernya. Bisa menghasilkan benefit, karena produsen tidak lagi melihatnya sebagai individu melainkan sebagai orang yang pengaruhnya didengar. Teknik ini juga banyak diterapkan di dunia politik, sehingga figur publik semacam pemain sinetron atau penyanyi bisa memasukinya, mendulang suara dan tentunya menguntungkan partai.

Beberapa hari setelah kejadian pemukulan itu berlalu, kami baru mendengar kabar apa yang dia katakan sehingga memantik emosi ‘Arek Sepultura’ yang mengeroyoknya. Dia berteriak lantang di depan mereka: Sepultura: Sepuluh Tuntutan Rakyat!

-ramok-